Rabu, 14 Juni 2017

Peranan Media Sosial dalam Media Komunitas dan Media Komersil

Media sosial seiring jaman sangat berkembang dan menjadi sebuah kebutuhan di masyarakat, selain mempunyai manfaat untuk berkomunikasi media sosial bisa menjadi media yang bisa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan financial.
Teori Uses and Gratification
Teori Uses and Gratification merupakan salah satu teori yang secara garis besar membahas mengenai pemahaman media dan juga dampak media bagi masyarakat (West&Turner, 2013:101-113). Media dalam teori Uses and Gratification memunculkan adanya kebutuhan yang dipuaskan oleh media (West&Turner, 2013:105):
a.       Kognitif : memperoleh informasi, pengetahuan dan pemahaman.
b.      Afektif   : pengelaman emosional, menyenangkan atau estetis.
c.       Integritas personal: meningkatkan kredebilitas, percaya diri, dan status.
d.      Integrasi sosial: meningkatkan hubungan dengan keluarga, teman, dan lainnya.
e.       Perlepasan ketegangan: pelarian dan pengalihan.  
Contoh dari media sosial yang paling sering digunakan untuk media komersil yaitu instagram. Banyak produk yang menggunakan salah satu media sosial ini untuk mempromosikan produk mereka bukan cuma itu para pengguna pasar bisa menemukan pasar yang baru karena kebanyakan masyarakat menggunakan media sosial untuk mencari info tentang apapun.
Fenomena selebgram menjadi daya tarik bagi para pencari pasar untuk mempromosikan jasa atau produknya. Kita mengenal itu dengan sebutan Endorse, selain murah dan tak menghabiskan terlalu banyak biaya seperti iklan di tv, media sosial dianggap lebih menarik karena pasar yang ditawarkanpun berbeda dengan televisi.
            Selain instagram produsen produk memilih youtube atau aplikasi-aplikasi online lainnya. Youtube sendiri sekarang membuka jasa layanan iklan, selain pengguna youtube yang semakin banyak harga yang ditawarkanpun lebih murah daripada iklan komersil di media lainnya.
            Berbeda dengan media komunitas, yang lebih bertujuan untuk menunjang promusi untuk komunitasnya sendiri. Komunitas biasanya menggunakan media sosial sebagai ajang promosi kegiatan tersebut, selain media sosial mudah digunakan dan mudah untuk diakses, media sosial juga mendangkup komunitas- komunitas yang saling berhubungan satu sama lain.
            Biasanya media komunitas itu hanya sekedar majalah atau radio yang jaringan penyebarannya sangat terbatas. Selain itu menghabiskan uang yang tidak sedikit. Maka dari itu, media sosial dianggap sebagai satu alat untuk memperkenalkan lebih luas tentang komunitas dan kegiatan yang dilakukan.
            Media sosial sangat vital karena selain digunakan oleh khalayak banyak, selain itu media sosial sangat berperan untuk media komersil maupun komunitas untuk menunjang kepentingan mereka di berbagai aspek yang dibutuhkan. Media sosial merupakan sebuah media online dimana para penggunannya bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi atau sarana untuk pergaulan sosial yang dilakukan secara online melalui jaringan internet.

Daftar pustaka :
                        West. R&Turner. L.H. (2013). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika


Minggu, 11 Juni 2017

Media Massa dan Digital Media

Pada saat ini kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari media sosial. Media sudah seperti narkotika sosial. Hal tersebut dikarenakan media sangat membantu dalam mencari informasi, edukasi serta hiburan. Terlepas dari sisi positif, media juga memiliki sisi negatif yang disebabkan oleh penggunanya. Untuk mengurangi hal-hal negatif maka diperlukan pendidikan melek media atau media literacy. Pendidikan melek media pada saat ini sangat dibutuhkan oleh para pengguna media khususnya pengguna media sosial. Media sosial sekarang ini merisaukan Presiden Joko Widodo karena di dalamnya cenderung berisi hujatan, ejekan, makian, fitnah serta adu domba. Hal ini memang benar adanya seperti yang terdapat pada akun sosial media instagram mantan gurbenur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Beliau mengunggah sebuah foto dan kemudian di penuhi komentar ejekan dan hujatan.

Pendidikan melek media memberikan pemahaman kepada seseorang tentang manfaat dan kerugian dari media massa, maka pengguna media harus bersikap bijak dan berpikir kritis dalam memilih suatu informasi. Ada baiknya jika pendidikan melek media diterapkan sejak dini. Usahakan anak-anak mengenal media dari orang tuanya, bimbingan ari orang tua membawa pengaruh besar terhadap anaknya dalam mengunakan media (Pamungkas&Hisyam,473). Media literasi sangat dibutuhkan karena untuk menyikapi suatu pesan media yang semakin canggih dapat merubah cara berpikir, merasa dan perilaku seseorang. (Soebagijo,131). Media literasi ini telah menjadi semacam solusi atas permasalahan seputar pengaruh atau dampak media terhadap penggunanya. Terdapat konsep-konsep penting terkait melek media yaitu :
1.      Semua media adalah kontruksi
Ketika media menyajikan suatu konten bagi khalayak, maka konten tersebut harus dikemas secara benar karena pandangan khalayak terhadap realitas terpaku pada pesan media yang telah kita dibuat.
2.      Setiap individu menafsirkan suatu pesan secara berbeda-beda
Setiap orang yang mengonsumsi media social dapat menafsirkan pesan secara berbeda-berbeda tergantung pada pengalaman, budaya dan keyakinan.
3.      Media memiliki kepentingan komersial
Tujuan utama media diciptakan adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya
4.      Media mengandung nilai dan pesan moral
Pada dasarnya para khalayak telah memiliki kepercayaan masing-masing terhadap pesan yang disampaikan oleh media. Pesan atau nilai tersebut akan berpengaruh dari bagaimana hal itu disampaikan.
5.      Setiap media memiliki bahasa, gaya, teknik dan estetika
Setiap media memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan pesan agar pesan tersebut dapat di terima oleh khalayak dan kepuasan khalayak merupakan hal yang paling penting
6.      Media memiliki implikasi komersial, politik dan sosial
       Dimensi penting dari melek media ini juga adalah sebuah kesadaran   media akan dampak sosial dan politik yang berasal dari media
7.      Bentuk dan isi berkaitan erat di media
Media memiliki tata bahasa khusus dan bias teknologi realita sdengan cara unik.


















Daftar Pustaka
Atmakusumah. (2016). Melek Media di Media Sosial. Nasional.kompas.com. http://nasional.kompas.com/read/2016/12/02/18081801/melek.media.di.media.sosial
Pamungkas Cahyo, Hisyam Muhamad. (2016). Indonesia, Globalisan dan Global Village. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soebagijo, Azimah. (2008). Pornografi Dilarang Tapi Di Cari. Depok. Gema Insani




REPRESENTASI WANITA DALAM MEDIA SOSIAL


 Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Gender merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan. (Asrini, 2013)
Isu seputar perempuan seperti kesetaraannya dengan laki-laki, terutama dalam sektor publik, memang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Tak kurang dari regulasi tentang perempuan dan pembentukan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengurusi masalah-masalah kaum perempuan . Tapi, kondisi aktual masyarakat saat ini kurang mendukung upaya penyetaraan itu. Masyarakat kita masih menganut ideologi dan nilai-nilai patriarki, yang menganggap posisi laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Bahkan, perempuan masih dianggap sebagian besar orang sebagai subordinat dari sebuah sistem. Melalui keadaan seperti itu maka jelas yang menjadi korban adalah perempuan. Namun, media massa kita belum mengungkapkan bias gender itu.Baik media massa cetak (surat kabar, tabloid dan majalah) dan elektronik (TV dan film) masih menggambarkan sosok perempuan seperti yang diungkapkan Tomagola (1990), yakni berkisar seputar 5-P: pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Pigura menyangkut kecantikan dan pemikat secara biologis, pilar sebagai pengelola rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan kerja (Quraisy, 2013).
Pencitraan perempuan seperti itu dapat dilihat saat media massa memproyeksikan perempuan. Tidak sedikit dalam media iklan, halaman depan tabloid, dan majalah hiburan yang menampilkan wajah dan bentuk tubuh perempuan sebagai daya tarik. Begitu pula dengan sinetron-sinetron dan film masih juga menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, tergantung pada pria, yang hanya di rumah dan peran utamanya hanyalah menyenangkan kaum pria. Selain itu, banyak pula perempuan yang dianggap sebagai simbol seks. Sosok perempuan dalam media massa seperti itu tentu saja menunjukkan stereotipe yang merugikan mereka.

Stereotipe terhadap perempuan
Stereotipe memproyeksikan pola pikir masyarakat pada perempuan. Kalangan feminis pasca-modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan tersebut kemudian dibesarkan oleh industri media. Pendekatan feminis-strukturalis Simone de Beauvoir telah mengilhami Ortner dalam Asrini (2013), dalam menilai bahwa subordinasi perempuan secara universal adalah dampak dan fungsi khas mereka dalam tradisi dan budaya yang melekat di masyarakat. Perempuan dianggap sebagai pengasuh dan orang yang membesarkan anak. Perempuan selalu diidentifikasi pada ranah domestik.
Pada posisi yang berbeda, hieraki gender menempatkan laki-laki sebagai gender yang perkasa, selalu menang, tak pernah menangis, dan hanya bertanggungjawab secara publik, bukan secara domestik. Hal inilah yang membuat orang-orang di luar hierarki menjadi kesulitan untuk diterima dalam nilai-nilai tersebut. Padahal, di luar dua kelompok gender tersebut ada juga kelompok lesbian, gay, biseksual, transeksual (LGBT), yang keberadaannya dipinggirkan (Asrini, 2013).
Konstruksi gender dalam konteks patriarki membuat perempuan sulit untuk mengubah takdirnya. Bukan hanya perempuan, orang-orang yang hidup diluar hierarki gender pun terpinggirkan, kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual,dan transgender), menjadi sulit diterima dan sulit dibahasakan di kalangan masyarakat.
Stereotipe yang melekat pada perempuan dan hierarki gender yang baru ini kemudian menimbulkan sejumlah persoalan baru yang terjadi di masyarakat. Misalnya, perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Stereotipe inilah melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan industri media kita merupakan propagandis terdepan dalam mengkampanyekan stereotipe tersebut.
Pada masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya salesgirl, covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang dalam Hidayati (2006), masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas. Setiap komoditas itu menjadi ―tontonan‖. Dalam masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas - atau tubuh itu sendiri sebagai suatu komoditas tontonan – mempunyai peran yang sangat sentral.
Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih popularitas, mengejar gaya hidup, dan buat mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan seperti itu, kerap media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada media massa.
Bagaimanapun, media massa memiliki manfaat yang cukup penting dalam masyarakat. Tokoh emansipasi kita, RA Kartini yang hari kelahirannya 21 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini pun, mendobrak tradisi yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat kaum wanita lewat bacaan-bacaannya yakni majalah wanita ketika itu. Karena itu, gambaran positif tentang perempuan dalam media massa akan memperbaiki citra mereka.










Peranan Media dalam Menciptakan Stereotipe tentang Perempuan
Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Mengharapkan setara dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu adalah cita-cita dan perjuangan. Ketimbang mempersoalkan terus-menerus mengenai. kesetaraan gender, feminis – maskulin, alangkah lebih baiknya jika perempuan lebih menunjukkan prestasi, karya, kecakapan dan peran dalam masyarakat yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Sehingga, gambaran ideal tentang perempuan pun akan tampil dalam media massa.
Dalam media di Indonesia stereotipe tentang perempuan melekat dalam berbagai tayangan; dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita. Gambaran tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron. Tayangan infotainment memprogandakan pasangan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan perempuan. Jika seorang artis perempuan tidak berpasangan, maka ia akan terus dikejar-kejar pertanyaan pekerja infotainment. Status lajang menjadi status buruk bagi perempuan yang dilekatkan oleh infotainment di televisi kita. Hal lainnya adalah status cantik yang melekat dalam industri media televisi. Siapa saja yang tampil menjadi selebritas di televisi harus selalu cantik. Jika tak cantik, maka seorang perempuan akan mendapatkan ejekan: tak seksi, kurang putih, mukanya kurang menjual, kalah pamor dari perempuan cantik lainnya (Asrini, 2013).
Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di media, namun telah menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televise, stereotipe yang sangat jarang terjadi di ruang redaksi di media cetak maupun radio.Stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan inilah yang akhirnya membuat perempuan membenci tubuhnya. Para perempuan membenci wajahnya yang kurang cantik, kakinya yang kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu gemuk. Akibatnya, perempuan menjadi pemimpi—ingin berubah wujud menjadi tubuh yang diinginkan industri. Karena prasyarat cantik inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan identitas seseorang, yaitu dengan simbol-simbol, signifikasi, representasi dan semua bentuk citra. Kriteria inilah yang sering dilabelkan pada seseorang atau kelompok tertentu.
Tak hanya itu, industri media kemudian memecah-belah perempuan. Ada pengkotakan: perempuan berwajah cantik vs perempuanberwajah pas-pasan,perempuan putih vs perempuan berkulit hitam. Dan ini kemudian dibesarkan oleh mode, fashion dan juara ratu-ratuan sejagat. Media televisi, dalam kultur indutri di Indonesia turut membesarkannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa iklan dalam media mengandung bias gender. Iklan-iklan yang ada mendiskriminasi perempuan melalui citra, visual dan teks-teksnya. Pencitraan yang paling menonjol dan menjadi sumber perdebatan berbagai kalangan adalah citra peraduan, dimana elemen seksualitas perempuan ditonjolkan ketika ia menjadi pembawa pesan.
Dengan mengutip Busby dan Leichty (Suharko dalam Subandi, 1998) bahwa tubuh perempuan digunakan sebagai simbol untuk men-ciptakan citra produk tertentu, atau paling tidak berfungsi sebagai latar dekoratif suatu produk. Tubuh perempuan tampil sebagai simbol kenikmatan minuman, keindahan produk furnitur, keanggunan dan kelincahan produk mobil dan sebagainya. Bagi sebagian orang, penggunaan tubuh perempuan sebagai sebuah simbol merupakan upaya komodifikasi tubuh perempuan, sementara bagi sebagian yang lain, para praktisi periklanan khususnya, hal ini adalah sebuah keharusan karena dibutuhkan untuk memperkuat daya jual sebuah produk.
Piliang dalam Ibrahim (1998) menjelaskan posisi perempuan dan tubuhnya melalui pisau analisa ekonomi politik dalam dunia komoditi. Ia memaparkan bahwa ada tiga sisi yang dapat dilihat dari tubuh perempuan ketika bicara kaitan antara (tubuh) perempuan dan ekonomi politik, yaitu ekonomi politik tubuh (political –economy of body), ekonomi politik tanda (political-economy of signs) dan ekonomi politik hasrat (political-economy of desire). Piliang melihat iklan di media, tubuh dan perempuan dengan pisau analisa ekonomi politik, ia mengkaitkannya dalam konteks kapitalisme. Kalau tadinya logika kapitalisme adalah berpijak pada produksi kebutuhan (needs) sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi serendah mungkin, kini logika itu telah bergeser menjadi menciptakan kebutuhan (needs) melalui penciptaan citra (image) oleh biro-biro iklan. Disinilah media dan perempuan menempati posisinya dalam kapitalisme wajah baru itu (Adian, 2002).
Kapitalisme bentuk baru ini menjadikan semua hal adalah tanda-tanda yang bisa dikomodifikasi, yaitu : proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana benda-benda, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas‖ (Barker, 2005).
Di dalam media, perempuan dan tubuhnya digunakan di dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan konstruksi sosial. Tubuh perempuan yang di potong-potong (menjadi hanya betis, atau kaki, atau dada, atau punggung, atau pinggul, atau rambut, atau bibir) dan diproduksi menjadi tanda-tanda (signs) akan membentuk citra (image), makna (meaning) dan identitas (identity) mereka di dalamnya. Tanda dan citra itulah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai obyek hasrat (desire) untuk memiliki demi mencapai kepuasan.
Prabasmoro (2004) menggambarkan tentang bagaimana potongan tubuh perempuan hanya potongan tanda yang menjadi komoditas: Seksualitas perempuan juga dikomodifikasi. Banyak produk yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh perempuan semata-mata karena tubuh perempuan merupakan nilai jual (selling point ) bagi produk itu.
Penggunaan tubuh dan representasi tubuh dalam media tidak saja menyangkut relasi ekonomi, tetapi juga relasi sosial dan relasi ideologi. Komodifikasi tubuh perempuan menjadi sebuah persoalan ideologi ketika penggunaan tubuhnya dalam iklan sebagai sebuah relasi ekonomi dilandasi dan digambarkan dalam relasi sosialnya pasif, berada dalam posisi subordinasi dan menjadi objek eksploitasi kelompok dominan saja.
Bila perempuan mampu berada dalam posisi subjek yang aktif dan tidak hanya menjadi objek pasif saja, maka bisa jadi bahwa perempuan sebenarnya berkuasa atas dirinya sendiri dan berperan aktif menentukan citra, makna dan identitas dirinya. Menurut Lacan, jika perempuan menggunakan tubuhnya untuk membebaskan hasratnya dan bermain-main (jouissance) maka bisa jadi perempuan otonom berperan aktif membebaskan tubuhnya. Karenanya, bagi para pengkaji cultural studies, persoalannya bukan terletak pada benar tidaknya representasi citra perempuan dalam media tetapi pada sejauhmana perempuan mampu menjadi subjek sebagai penentu konstruksi (Barker, 2002).
Keberadaan perempuan dalam iklan sah-sah saja sepanjang kreatornya tidak menghadirkan bad taste advertising (Subijakto dalam Subandi, 1998). Makna bad taste advertising itu sendiri bisa sangat luas, termasuk jangan melewati batas, dalam arti tidak terjebak pada over-exposure, over-signification dan over-imagination.
Di sinilah kemudian kita harus berhati-hati pada iklan, pada media dan kapitalisme. Madonna sekali pun, yang mampu bermain-main dengan citra dan identitasnya tidak mampu berbuat apa-apa untuk merubah eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial yang lebih hakiki dalam masyarakat kapitalis yang eksploitatif . Di sinilah iklan menjadi hal yang harus diwaspadai. Jean Kilbourne dalam Santi (2012) bahwa iklan memiliki kekuatan pendidikan yang paling berpengaruh karena setiap harinya kita terpapar oleh lebih dari 2000 iklan. Menurutnya, yang dijual oleh iklan lebih dari sekedar produk, tetapi : They sell values, images, and concepts of success and worth, love and sexuality, popularity and normalcy. They tell us who we are and who we should be. Sometimes they sell addictions.
Menurut Wibowo (2003) bahwa iklan makin mirip nenek sihir: datang mendadak dan bergegas menyebar mantra. Orang yang melihat terpesona (dan kebanyakan) terpedaya olehnya tanpa bisa memberontak. Dampaknya, relung-relung kehidupan kita tak lengkap tanpa sentuhan iklan. manusia sekarang bergaul karena iklan media, berpolitik karena iklan dan bahkan rela mati demi iklan. Kata sihir untuk menunjukkan pengaruh iklan dalam kehidupan. Sihir lebih bernuansa magis daripada kata mempesona yang bermakna memukau atau memikat . Dijelaskan lebih lanjut bahwa sihir terwujud dalam 3 bentuk yaitu mengintimidasi, memanipulasi dan mendominasi. Bahkan kemudian bahwa iklan juga mengintervensi dan memprovokasi. Jadi, begitulah media mempengaruhi hidup konsumen. Menyihir dan tiba-tiba membuat orang tak berdaya, terjebak dalam sikap konsumtif .

Media Sosial
Media massa di sini menekankan di dunia media sosial yang sudah menjadi bagian terbesar dari media massa di era digital jaman sekarang ini. Pada media sosial represntasi terlihat lebih jelas terutama di dalam dunia periklanan. Dunia periklanan yang sekarang gencar di lakukan media sosial membuat kita dapat melihat  lebih jelas hasil representasi ini sendiri.
(CONTOH-CONTOH GAMBAR)














DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral, “Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif”,
Jalasutra, Yogyakarta, 2002.

Asrini, Dwi., 2013, Gender dalam Konteks Teori Struktural-Fungsional dan Teori Sosial
Konflik,Makalah Universitas Surakarta.

Barker, Chris, Tim KUNCI (terj. ) ‖Cultural Studies: “Teori dan Praktek”, Bentang, Yogyakarta,
2002.

Hidayati, Ratna, 2006, ―Jurnalisme Berperspektif Gender‖, disampaikan dalam Short Course
Jurnalisme Denpasar, 22 April 2006.

Ibrahim, Idi Subandi dan Hanif Suranto (eds. ), “Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender
dalam Ruang Publik OrdeBaru”, 305-309, Bandung: Rosdakarya, Bandung, 1998.

Luviana, 2014, Stereotipe Perempuandalam Media, Jurnal pusat studi media dan komunikasi.
Jurnal On-line: http://www.remotivi.or.id/amatan/28/Stereotipe-Perempuan-dalamMedia)
diakses tanggal 1 September 2016).

Prabasmoro, Aquarini Priyatna, “Putih, Femininitas, dan seksualitas Perempuan dalam Iklan
Kita”, Dalam Jurnal Perempuan, Remaja Melek Media, 53-63, Yayasan Jurnal Peremuan,
Jakarta, 2004Quraisy, Hidayah., 2013, Perempuan dan Iklan Media (Ketidakadilan
Gender dalam Media), Equilibrium, Jurnal Pendidikan, volume 1, no 1/2013.


Santi, Sarah., 2012, artikel : Perempuan Dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh Atau Komoditi?,
http:www.esaunggul.ac.id diakses tanggal 1 September 2016

Suharko, “Budaya Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media Massa”, Dalam Idi Subandi,
1998.

Wibowo, Wahyu, “Sihir Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban

Kosmopolit “, Gramedia, Jakarta, 2003.

Jumat, 09 Juni 2017

Media sosial dan Konglomerasi Media Massa


Media massa merupakan sebuah alat yang digunakan sebagai penyebaran informasi ke khalayak luas. Media massa tumbuh dan berkembang karena adanya kebutuhan informasi masyarakat yang semakin meningkat. Adanya sebuah kesempatan keuntungan pendapatan bisnis pada ranah media massa memunculkan adanya sebuah “komerisialisme” media massa. Dalam hal ini munculah sebuah konglomerasi media massa yang semakin marak terjadi, sementara konglomerasi media dilakukan oleh seseorang yang memiliki kuasa pada suatu bidang tertentu dan media sangat mempengaruhi kedudukannya. Hamad (2004:26) menjelaskan bahwa konglomerasi media merupakan sebuah bentuk kontruksi realitas dengan perwujudan kontrol media massa oleh pihak tertentu yang memanfaatkan uang dan kekuasaan dalam pelaksanaan pemberitaan. Konglomerasi media membuat sempitnya informasi yang disebarluaskan dan diterima sebenar-benarnya oleh khalayak.
            Konglomerasi media massa hakikatnya lebih banyak menyasar pada media massa televisi, hal ini dibuktikan dengan beberapa pihak yang berkecimpung didunia politik dan juga merangkap sebagai pemilik dari sebuah stasiun televisi tertentu. Konglomerasi media mengontrol adanya informasi-informasi tertentu, adanya keberkaitan pemilik saham ataupun direktur utama disebuah stasiun televisi lantas membuat pemberitaan “dibatasi”. Hal ini terjadi karena adanya “pencitraan” yang dilakukan oleh pihak terkait, sebagai contoh adalah adanya teguran Komisi Penyiaran Indonesia kepada Metro Tv dan TV One yang dimiliki oleh Surya Paloh dan Aburizal Bakrie karena timpangnya porsi pemberitaan saat Pilpres 2014 (KPI, 2014). Teguran ini dilayangkan karena KPI menilai adanya pemberitaan tidak netral yang dilakukan oleh kedua belah pihak stasiun televisi yang memiliki dua pihak-pihak yang memiliki keterlibatan politik pada sebuah partai politik.
            Kedua belah pihak stasiun televisi tersebut menyebutkan beberapa hal yang sangat bertentangan antara satu sama lain dengan fakta yang ada. Hal ini tentu saja berdampak pada opini dan dari khalayak terkait pilpres. Hal inilah yang kemudian disebut kontruksi realitas, media massa yang terus berkembang kemudian memunculkan media sosial. Konglomerasi yang ada pada media massa melupakan sebuah hal penting dari khalayak, yakni ketertarikan. Adanya kontruksi sebuah realitas jelas mempersempit sebuah perluasan dan kebenaran dari informasi. Hal tersebut jelas memberikan efek kejenuhan dari khalayak, hingga media sosial mengisi kejenuhan tersebut dengan hal-hal yang jelas lebih menarik dan lebih real. Media sosial sangat luas dan jua “bebas” siapa saja dapat menyebarkan sebuah hal viral dan juga siapa saja dapat memperoleh pemberitaan mengenai apa saja.
            Media sosial lebih minim “dikuasai” oleh pihak tertentu karena kepemilikan bersifat tunggal dan lebih global. Media sosial tidak melulu mengenai informasi yang bersifat sempit dan kaku, hal tersebutlah yang membuat masyarakat menjadi lebih tertarik untuk mengakses informasi melalui media sosial. Hal lain yang dilupakan oleh para penguasa media massa adalah, kekritisan dari masyarakat Indonesia yang jauh lebih tajam akan adanya sebuah pemberitaan. Globalisasi dan juga digitalisasi membuat khalayak tidak bisa menerima suatu informasi ataupun fakta dari satu sumber. Media sosial menyediakan fitur “hastag” yang mana dengan adanya fitur tersebut khalayak dapat mencari sebuah informasi yang sesuai dengan apa yang ingin diketahui. Televisi agaknya mulai ditinggalkan, sejak kejadian timpangnya hasil pemilihan pilpres konglomerasi yang ada semakin menjadi bahan perbincangan. Kepercayaan khalayak mulai menurun dan mengakibatkan adanya peralihan ke media sosial yang menyediakan informasi secara netral dan berlandaskan dengan fakta yang ada. Hal ini menjadi menekankan bahwa media sosial menekan dan tidak dipengaruhi adanya konglomerasi media massa yang ada di Indonesia. Media sosial masih bersifat bebas dan banyaknya masyarakat yang kritis menyebabkan adanya seleksi informasi dari khalayak terus dilakukan untuk mendapatkan kebenaran. Konglomerasi media massa tentunya lambat laun akan kehilangan “penonton” karna mulai adanya tindakan kritis informasi oleh masyarakat Indonesia.





Referensi:
Hamad, I. (2004). Kontruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.

KPI. (2014). Pemberitaan Tidak Netral, KPI Pusat Tegur Metro Tv dan Tv One. Komisi Penyiaran Indonesia Website. Diakses pada 10 Juni 2017 https://www.kpi.go.id/index.php/id/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106-pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-tegur-metro-tv-dan-tv-one

Media Sosial dalam Teori Komunikasi Massa Klasik dan Kritis


I.                   Teori komunikasi massa klasik
Media sosial merupakan media sosial yang berkembang karena adanya dorongan praktis dari teknologi yang menyebabkan populernya media sosial pada era ini. Berlandaskan pada teori komunikasi massa klasik berjumlah tiga, yakni
1.      Teori Jarum Suntik
Teori jarum suntik merupakan teori mengenai komunikasi yang berbicara banyak mengenai pengaruh media massa bagi individu (Umar, 2000:21). Disebut juga sebagai teori peluru, teori ini berbicara bagaimana informasi dari media massa dapat melesat seperti peluru yang dapat “menyerang” siapa saja yang menerima informasi tersebut. Teori ini juga membahas bagaimana media massa adalah sebuah jarum suntik yang menyuntikkan informasi bagi audience yang lemah dan tidak berdaya (Umar, 2000:21).
Media massa memiliki kekuatan yang besar dalam menginjeksikan ide dan juga informasi bagi khalayak (Umar, 2000:22). Schramm dalam Umar (2000:22) menyebutkan media massa juga dianggap sebagai sebuah atom yang terpisah, tidak berhubungan satu sama lain dan hanya berhubungan dengan media massa. Apabila khalayak memiliki pendapat yang sama terhadap sebuah persoalan hal itu bukan terjadi karena mereka mereka berkomunikasi atau saling mengenal akan tetapi itu karena mereka memperoleh informasi dari media yang sama.

Media sosial sebagai bagian dari media massa era baru ini menjadi sangat menarik untuk ditelusuk lebih dalam. Pasalnya segala informasi dapat diperoleh hanya dengan menggunakan media sosial. Bukan hanya melalui chat-to-chat, akan tetapi sudah mulai ada beberapa akun asli dari media-media massa yang menyalurkan informasi melalui media sosial. Terlihat bagaimana teori jarum suntik, cocok dengan fenomena kemarakan media sosial yang ada. Dilihat dari bagaimana media sosial “menginjeksi” penggunanya dari hal pemberitaan. Meminjam pernyataan dari Schramm dalam Umar (2000:22) yang menjelaskan bahwa apa bila audience memiliki kesamaan pendapat, maka mereka memperoleh informasi dari media yang sama. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa akun informasi seperti infia fact yang memposting suatu informasi, kemudian dihujani dengan ribuan komentar yang bersifat pro dan kontra.









Gambar tersebut adalah bukti bahwa adanya sebuah postingan disebuah media sosial sebagai media massa, dan terjadi pro-kontra didalamnya merupakan salahsatu bentuk adanya teori jarum suntik yang terjadi. Media sosial juga mempengaruhi secara sangat signifikan terhadap pola kehidupan audience. Ada sebuah “ideal” yang dibangun dan sangat memperngaruhi standar baru dari kehidupan manusia. 
Contohnya adalah booming-nya make up sebagai sebuah standar kecantikan dari seorang wanita. Hal ini menjadi pengaruh yang besar bagi publik bagaimana adanya pengaruh dari beauty vlogger sebutan bagi para “standar kecantikan” dari media sosial yang akhirnya berdampak bagi masyarakat khususnya bagi kaum wanita. Berawal dari kegiatan cara menghias diri yang baik maka mulai muncul trend “wajib make-up” yang meluas bagi setiap wanita, karena adanya pengaruh dan “injeksi” dari aktifitas vlogger yang dilakukan di sosial media beauty  vlogger. Kekuatan media sosial sebagai media massa mempengaruhi bagaimana standar kecantikan wanita diukur dari bagaimana dirinya menggunakan make-up. Hal ini adalah wujud dari pembuktikan konsep teori jarum suntik mengenai kekuatan besar media massa yang mempengaruhi khalayaknya.










1.      Teori Uses and Gratification
Teori Uses and Gratification merupakan salah satu teori yang secara garis besar membahas mengenai pemahaman media dan juga dampak media bagi masyarakat (West&Turner, 2013:101-113). Media dalam teori Uses and Gratification memunculkan adanya kebutuhan yang dipuaskan oleh media (West&Turner, 2013:105):
a.       Kognitif : memperoleh informasi, pengetahuan dan pemahaman.
b.      Afektif   : pengelaman emosional, menyenangkan atau estetis.
c.       Integritas personal: meningkatkan kredebilitas, percaya diri, dan status.
d.      Integrasi sosial: meningkatkan hubungan dengan keluarga, teman, dan lainnya.
e.       Perlepasan ketegangan: pelarian dan pengalihan.  
Beberapa hal tersebut sejatinya merupakan sebuah hal yang terbentuk sebagai sebuah dampak yang terjadi karena media mengambil alih perhatian khalayak. Melihat bagaimana media sosial mendominasi sebagian aktifitas dari individu maka hal ini erat kaitannya dengan kepuasaan dalam teori Uses and Gratification. Media sosial secara garis besar telah mencakup lima hal kepuasaan yang diberikan oleh media. Salah satu contohnya adalah integritas sosial, banyak sekali dijumpai adanya grub yang memuat orang-orang dengan kesamaan tertentu (fans artis, pendukung partai politik atau tokoh politik tertentu, program beasiswa, dan lain-lain). Aktifitas media sosial pemuas kebutuhan integritas sosial merupakan sebuah bukti nyata adanya keterkaitan dengan teori Uses and Gratification. Media sosial saat ini diakui sebagai sebuah alat yang telah mulai sulit untuk dipisahkan dengan khalayak, pasalnya secara sosial khalayak secara tidak langsung telah terhubung satu dengan yang lainnya sehingga hal ini menjadikan sebuah koneksi yang kuat dengan media sosial.
            Adanya sebuah aktifitas yang dapat digantikan dengan media sosial membuat adanya sebuah kepuasaan yang dirasakan oleh khalayak dari kelima hal tersebut. Pengetahuan yang digantikan dengan akun-akun yang memuat informasi-informasi berdasarkan pemberitaan tertentu. Aktifitas untuk mengobrol dan face to face digantikan dengan aktifitas chatting yang hampir diseluruh media sosial terdapat fitur chatting. Aktualisasi diri kini dapat dilakukan dengan media sosial yang menyediakan gambar dan foto atau video yang dapat menghilang dalam durasi 1x24 jam. Media sosial memberikan kepuasaan yang “modern” dan praktis kepada penggunanya, hal ini dikarenakan media sosial dapat mencakup segala hal yang dapat dilakukan oleh media massa lain.
2.      Teori Agenda Setting
Teori agenda setting merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh MCcomb dan Donal Shaw (LSPR, 2010:327). Teori ini membahas mengenai fungsi media massa dalam untuk menyeleksi dan memberi tekanan pada isu-isu dengan menunjukkan fakta-fakta yang telah terakumulasi, dengan demikian media menghantar audiens untuk merasakan isu-isu tersebut sebagai isu yang berguna. Teori ini membawa sebuah fakta yang menyatakan bahwa ada sebuah kekuatan dari media massa untuk mempengaruhi khalayak terhadap sebuah isu tersebut. Antoni (2004:79-80) menyebutkan ada tiga dimensi dalam teori agenda setting, yakni:
a.       Agenda media       : menjelaskan bagaimana media mengeksploitasi atau mengarahkan berita dan informasi secara terus menerus kepada publik. Berita dianggap sebagai sebuah hal yang penting dan harus mendapat perhatian dari khalayak. Agenda media juga meliputi framing yang merupakan proses seleksi dari berita atau realitas yang ada agar terlihat dari aspek lain. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian publik dan khalayak dan memunculkan adanya agenda publik.
b.      Agenda khalayak atau publik       : menjelaskan bagaimana informasi dan berita berorientasi pada awareness publik, hal ini menyatakan bagaimana sebuah media mengemas informasi atau berita agar dapat “mencuri” perhatian publik.
c.       Agenda kebijakan : menjelaskan bagaimana pemberitaan yang muncul mempengaruhi kebijakan yang ada. Hal ini biasa dicontohkan dengan berita pemerkosaan yang akhir-akhir ini sering terjadi, pemberitaan tersebut menimbulkan demo yang dapat mempengaruhi kebijakan mengenai hukuman bagi pemerkosa.
Media sosial dalam teori agenda setting ini memiliki keterkaitan dalam hal agenda khalayak atau publik. Meskipun saat ini media sosial adalah media massa baru akan tetapi kedudukannya telah menimbulkan beberapa aksi yang jika dikaitkan sangat erat dengan teori dalam agenda setting. Media sosial memanfaatkan koneksi yang terjadi antara pengguna satu dengan yang lainnya untuk saling mengintpretasi informasi yang saling ditukarkan. Media massa lama lebih bersifat satu arah, artinya informasi disampaikan tanpa adanya pengembangan dan respon bersifat pasif sehingga agenda yang terjadi tidak dapat dilihat secara realistis. Media sosial membawa kelemahan media massa lama sebagai kekuatannya, dimana sebuah respon dapat dilihat secara aktif. Contohnya adalah gerakan #seribulilinAhok, gerakan ini adalah sebuah wujud simpati dan empati warga Indonesia setelah aksi penjeblosan Ahok dalam penjara. Melalui media sosial seluruh pengguna menenkripsikan pesan yang diterima dan menindaklanjuti dengan menggunakan respon aktif baik seperti komenta atau tindakan membagikan kiriman.



Gambar diatas adalah sebuah bentuk kekuatan media sosial yang dapat menggerakkan lebih dari 1000 pengguna media sosial untuk melakukan gerakan seribu lilin di beberapa tempat berbeda. Hal ini berkaitan dengan Agenda publik, yang mana media sosial membawa sebuah pengaruh bagi publik atau audiensnya, dalam hal ini bukan saja awareness yang dipengaruhi oleh media sosial akan tetapi telah pada tahap action.



I.                   Teori Kritis
Media sosial merupakan sebuah media massa baru yang berkembang atas dasar perkembangan teknologi yang membawa media massa ketempat yang lebih maju. Kehadiran media sosial tentunya menjadi sebha fenomena besar yang menggantikan kedudukan dari media massa yang ada. Media sosial memberikan sebuah kemudahan yang dapat dinikmati oleh seluruh penggunanya mulai dari aktifitas keuangan atau banking, aktifitas perbelanjaan dan aktifitas-aktifitas lain yang memiliki kemungkinan dapat dilakukan dengan aktifitas online. Beberapa pertanyaan muncul karena keadaan media sosial yang mulai menggantikan keseluruhan peran dari media massa.
            Benarkah media sosial benar-benar mempengaruhi keseluruhan dari aktifitas khalayak? Adakah? Faktanya tidak semua hal dimulai karena adanya isu yang disebarluaskan. Media sosial pada hal ini disebut sebagai sebuah medium untuk menyebarkan sebuah isu atau fakta yang ada. Media sosial menjadi sangat kaya akan sebuah berita adalah karena kemudahan dan tidak adanya biaya yang sangat besar untuk mengakses dan menyebarkan sebuah berita. Apakah media sosial yang merupakan bagian dari komunikasi massa masih menjadi mengadopsi teori komunikasi massa klasik yang kebanyakan menyebutkan adanya kondisi satu arah informasi?. Media sosial bertindak sebagai sebuah medium untuk menyebarkan berita dan mengakses berita, hal ini melunturkan adanya sebuah pernyataan bahwa media hanya memberikan sebuah santapan informasi. Faktanya media sosial bersifat sebagai sebuah sarana baru bagi khalayak untuk berlaku seperti penyebar berita. Melalui hal ini maka kuasa kontrol media massa sudah tidak lagi berlaku, karena media sosial memberikan sebuah kesempatan kepada khalayak untuk menjadi pengontrol pemberitaan dan juga pengontrol penyebaran informasi.

Daftar Pustaka
Antoni. (2004). Riuhnya Persimpangan itu: Profil dan Pemikiran Para Penggagas kajian Ilmu Komunikasi. Surakarta : Tiga Serangkai.
London School Public Relations. (2010). Beyond Borders: Communication Modernity & History. Jakarta : LSPR.
West. R&Turner. L.H. (2013). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika.
Umar, M.H. (2000). Selendang Merah: Pilihan Cerpen. Jakarta:Grasindo.