Gender
adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Gender merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-laki
dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya.
Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi
masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.
(Asrini, 2013)
Isu
seputar perempuan seperti kesetaraannya dengan laki-laki, terutama dalam sektor
publik, memang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Tak kurang dari regulasi
tentang perempuan dan pembentukan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang
mengurusi masalah-masalah kaum perempuan . Tapi, kondisi aktual masyarakat saat
ini kurang mendukung upaya penyetaraan itu. Masyarakat kita masih menganut
ideologi dan nilai-nilai patriarki, yang menganggap posisi laki-laki lebih
dominan ketimbang perempuan. Bahkan, perempuan masih dianggap sebagian besar
orang sebagai subordinat dari sebuah sistem. Melalui keadaan seperti itu maka
jelas yang menjadi korban adalah perempuan. Namun, media massa kita belum
mengungkapkan bias gender itu.Baik media massa cetak (surat kabar, tabloid dan
majalah) dan elektronik (TV dan film) masih menggambarkan sosok perempuan
seperti yang diungkapkan Tomagola (1990), yakni berkisar seputar 5-P: pigura,
pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Pigura menyangkut kecantikan dan
pemikat secara biologis, pilar sebagai pengelola rumah tangga, peraduan yakni
yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan dengan dapur dan
pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan kerja (Quraisy,
2013).
Pencitraan
perempuan seperti itu dapat dilihat saat media massa memproyeksikan perempuan.
Tidak sedikit dalam media iklan, halaman depan tabloid, dan majalah hiburan
yang menampilkan wajah dan bentuk tubuh perempuan sebagai daya tarik. Begitu
pula dengan sinetron-sinetron dan film masih juga menggambarkan perempuan
sebagai makhluk yang lemah, tergantung pada pria, yang hanya di rumah dan peran
utamanya hanyalah menyenangkan kaum pria. Selain itu, banyak pula perempuan
yang dianggap sebagai simbol seks. Sosok perempuan dalam media massa seperti
itu tentu saja menunjukkan stereotipe yang merugikan mereka.
Stereotipe terhadap perempuan
Stereotipe
memproyeksikan pola pikir masyarakat pada perempuan. Kalangan feminis
pasca-modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan tersebut kemudian
dibesarkan oleh industri media. Pendekatan feminis-strukturalis Simone de Beauvoir
telah mengilhami Ortner dalam Asrini (2013), dalam menilai bahwa subordinasi
perempuan secara universal adalah dampak dan fungsi khas mereka dalam tradisi
dan budaya yang melekat di masyarakat. Perempuan dianggap sebagai pengasuh dan
orang yang membesarkan anak. Perempuan selalu diidentifikasi pada ranah
domestik.
Pada
posisi yang berbeda, hieraki gender menempatkan laki-laki sebagai gender yang
perkasa, selalu menang, tak pernah menangis, dan hanya bertanggungjawab secara
publik, bukan secara domestik. Hal inilah yang membuat orang-orang di luar
hierarki menjadi kesulitan untuk diterima dalam nilai-nilai tersebut. Padahal,
di luar dua kelompok gender tersebut ada juga kelompok lesbian, gay, biseksual,
transeksual (LGBT), yang keberadaannya dipinggirkan (Asrini, 2013).
Konstruksi
gender dalam konteks patriarki membuat perempuan sulit untuk mengubah takdirnya.
Bukan hanya perempuan, orang-orang yang hidup diluar hierarki gender pun
terpinggirkan, kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual,dan transgender), menjadi
sulit diterima dan sulit dibahasakan di kalangan masyarakat.
Stereotipe
yang melekat pada perempuan dan hierarki gender yang baru ini kemudian
menimbulkan sejumlah persoalan baru yang terjadi di masyarakat. Misalnya,
perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang melekat dalam
masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Stereotipe inilah melestarikan
kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan industri media kita
merupakan propagandis terdepan dalam mengkampanyekan stereotipe tersebut.
Pada
masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai
pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya
salesgirl, covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti dikutip Yasraf
Amir Piliang dalam Hidayati (2006), masyarakat tontonan adalah masyarakat yang
dalam dirinya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas. Setiap komoditas itu
menjadi ―tontonan‖. Dalam masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek
tontonan untuk menjual komoditas - atau tubuh itu sendiri sebagai suatu
komoditas tontonan – mempunyai peran yang sangat sentral.
Menjadikan
tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan
pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih popularitas, mengejar gaya hidup,
dan buat mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa
menyadari sesungguhnya mereka telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di
dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Karena
pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan seperti itu, kerap media massa
khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis
semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada
media massa.
Bagaimanapun,
media massa memiliki manfaat yang cukup penting dalam masyarakat. Tokoh
emansipasi kita, RA Kartini yang hari kelahirannya 21 April diperingati setiap
tahun sebagai Hari Kartini pun, mendobrak tradisi yang tidak sesuai dengan
harkat dan martabat kaum wanita lewat bacaan-bacaannya yakni majalah wanita
ketika itu. Karena itu, gambaran positif tentang perempuan dalam media massa
akan memperbaiki citra mereka.
Peranan Media dalam Menciptakan
Stereotipe tentang Perempuan
Media
massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media
massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Mengharapkan
setara dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa
saja berdalih itu adalah cita-cita dan perjuangan. Ketimbang mempersoalkan
terus-menerus mengenai. kesetaraan gender, feminis – maskulin, alangkah lebih
baiknya jika perempuan lebih menunjukkan prestasi, karya, kecakapan dan peran
dalam masyarakat yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Sehingga, gambaran
ideal tentang perempuan pun akan tampil dalam media massa.
Dalam
media di Indonesia stereotipe tentang perempuan melekat dalam berbagai
tayangan; dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita. Gambaran
tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron.
Tayangan infotainment memprogandakan pasangan sebagai hal yang paling penting
dalam kehidupan perempuan. Jika seorang artis perempuan tidak berpasangan, maka
ia akan terus dikejar-kejar pertanyaan pekerja infotainment. Status lajang
menjadi status buruk bagi perempuan yang dilekatkan oleh infotainment di
televisi kita. Hal lainnya adalah status cantik yang melekat dalam industri
media televisi. Siapa saja yang tampil menjadi selebritas di televisi harus
selalu cantik. Jika tak cantik, maka seorang perempuan akan mendapatkan ejekan:
tak seksi, kurang putih, mukanya kurang menjual, kalah pamor dari perempuan
cantik lainnya (Asrini, 2013).
Stereotipe
cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di media, namun telah
menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televise, stereotipe yang sangat
jarang terjadi di ruang redaksi di media cetak maupun radio.Stereotipe yang
berkisar dalam hal kecantikan inilah yang akhirnya membuat perempuan membenci
tubuhnya. Para perempuan membenci wajahnya yang kurang cantik, kakinya yang
kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu gemuk. Akibatnya, perempuan menjadi
pemimpi—ingin berubah wujud menjadi tubuh yang diinginkan industri. Karena
prasyarat cantik inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan identitas
seseorang, yaitu dengan simbol-simbol, signifikasi, representasi dan semua
bentuk citra. Kriteria inilah yang sering dilabelkan pada seseorang atau
kelompok tertentu.
Tak
hanya itu, industri media kemudian memecah-belah perempuan. Ada pengkotakan:
perempuan berwajah cantik vs perempuanberwajah pas-pasan,perempuan putih vs
perempuan berkulit hitam. Dan ini kemudian dibesarkan oleh mode, fashion dan
juara ratu-ratuan sejagat. Media televisi, dalam kultur indutri di Indonesia
turut membesarkannya.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa iklan dalam media mengandung bias gender. Iklan-iklan
yang ada mendiskriminasi perempuan melalui citra, visual dan teks-teksnya.
Pencitraan yang paling menonjol dan menjadi sumber perdebatan berbagai kalangan
adalah citra peraduan, dimana elemen seksualitas perempuan ditonjolkan ketika
ia menjadi pembawa pesan.
Dengan
mengutip Busby dan Leichty (Suharko dalam Subandi, 1998) bahwa tubuh perempuan
digunakan sebagai simbol untuk men-ciptakan citra produk tertentu, atau paling
tidak berfungsi sebagai latar dekoratif suatu produk. Tubuh perempuan tampil
sebagai simbol kenikmatan minuman, keindahan produk furnitur, keanggunan dan
kelincahan produk mobil dan sebagainya. Bagi sebagian orang, penggunaan tubuh
perempuan sebagai sebuah simbol merupakan upaya komodifikasi tubuh perempuan,
sementara bagi sebagian yang lain, para praktisi periklanan khususnya, hal ini
adalah sebuah keharusan karena dibutuhkan untuk memperkuat daya jual sebuah
produk.
Piliang
dalam Ibrahim (1998) menjelaskan posisi perempuan dan tubuhnya melalui pisau
analisa ekonomi politik dalam dunia komoditi. Ia memaparkan bahwa ada tiga sisi
yang dapat dilihat dari tubuh perempuan ketika bicara kaitan antara (tubuh)
perempuan dan ekonomi politik, yaitu ekonomi politik tubuh (political –economy
of body), ekonomi politik tanda (political-economy of signs) dan ekonomi
politik hasrat (political-economy of desire). Piliang melihat iklan di media,
tubuh dan perempuan dengan pisau analisa ekonomi politik, ia mengkaitkannya
dalam konteks kapitalisme. Kalau tadinya logika kapitalisme adalah berpijak
pada produksi kebutuhan (needs) sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi
serendah mungkin, kini logika itu telah bergeser menjadi menciptakan kebutuhan
(needs) melalui penciptaan citra (image) oleh biro-biro iklan. Disinilah media
dan perempuan menempati posisinya dalam kapitalisme wajah baru itu (Adian,
2002).
Kapitalisme
bentuk baru ini menjadikan semua hal adalah tanda-tanda yang bisa dikomodifikasi,
yaitu : proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana benda-benda,
kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas‖ (Barker, 2005).
Di
dalam media, perempuan dan tubuhnya digunakan di dalam berbagai aktivitas
ekonomi berdasarkan konstruksi sosial. Tubuh perempuan yang di potong-potong
(menjadi hanya betis, atau kaki, atau dada, atau punggung, atau pinggul, atau
rambut, atau bibir) dan diproduksi menjadi tanda-tanda (signs) akan membentuk
citra (image), makna (meaning) dan identitas (identity) mereka di dalamnya.
Tanda dan citra itulah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai obyek hasrat
(desire) untuk memiliki demi mencapai kepuasan.
Prabasmoro
(2004) menggambarkan tentang bagaimana potongan tubuh perempuan hanya potongan
tanda yang menjadi komoditas: Seksualitas perempuan juga dikomodifikasi. Banyak
produk yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan,
menampilkan tubuh perempuan semata-mata karena tubuh perempuan merupakan nilai
jual (selling point ) bagi produk itu.
Penggunaan
tubuh dan representasi tubuh dalam media tidak saja menyangkut relasi ekonomi,
tetapi juga relasi sosial dan relasi ideologi. Komodifikasi tubuh perempuan
menjadi sebuah persoalan ideologi ketika penggunaan tubuhnya dalam iklan
sebagai sebuah relasi ekonomi dilandasi dan digambarkan dalam relasi sosialnya
pasif, berada dalam posisi subordinasi dan menjadi objek eksploitasi kelompok
dominan saja.
Bila
perempuan mampu berada dalam posisi subjek yang aktif dan tidak hanya menjadi
objek pasif saja, maka bisa jadi bahwa perempuan sebenarnya berkuasa atas
dirinya sendiri dan berperan aktif menentukan citra, makna dan identitas
dirinya. Menurut Lacan, jika perempuan menggunakan tubuhnya untuk membebaskan
hasratnya dan bermain-main (jouissance) maka bisa jadi perempuan otonom
berperan aktif membebaskan tubuhnya. Karenanya, bagi para pengkaji cultural
studies, persoalannya bukan terletak pada benar tidaknya representasi citra
perempuan dalam media tetapi pada sejauhmana perempuan mampu menjadi subjek
sebagai penentu konstruksi (Barker, 2002).
Keberadaan
perempuan dalam iklan sah-sah saja sepanjang kreatornya tidak menghadirkan bad
taste advertising (Subijakto dalam Subandi, 1998). Makna bad taste advertising
itu sendiri bisa sangat luas, termasuk jangan melewati batas, dalam arti tidak
terjebak pada over-exposure, over-signification dan over-imagination.
Di
sinilah kemudian kita harus berhati-hati pada iklan, pada media dan
kapitalisme. Madonna sekali pun, yang mampu bermain-main dengan citra dan
identitasnya tidak mampu berbuat apa-apa untuk merubah eksistensi perempuan
dalam kehidupan sosial yang lebih hakiki dalam masyarakat kapitalis yang
eksploitatif . Di sinilah iklan menjadi hal yang harus diwaspadai. Jean
Kilbourne dalam Santi (2012) bahwa iklan memiliki kekuatan pendidikan yang
paling berpengaruh karena setiap harinya kita terpapar oleh lebih dari 2000
iklan. Menurutnya, yang dijual oleh iklan lebih dari sekedar produk, tetapi : They
sell values, images, and concepts of success and worth, love and sexuality,
popularity and normalcy. They tell us who we are and who we should be. Sometimes
they sell addictions.
Menurut
Wibowo (2003) bahwa iklan makin mirip nenek sihir: datang mendadak dan bergegas
menyebar mantra. Orang yang melihat terpesona (dan kebanyakan) terpedaya
olehnya tanpa bisa memberontak. Dampaknya, relung-relung kehidupan kita tak
lengkap tanpa sentuhan iklan. manusia sekarang bergaul karena iklan media,
berpolitik karena iklan dan bahkan rela mati demi iklan. Kata sihir untuk
menunjukkan pengaruh iklan dalam kehidupan. Sihir lebih bernuansa magis
daripada kata mempesona yang bermakna memukau atau memikat . Dijelaskan lebih
lanjut bahwa sihir terwujud dalam 3 bentuk yaitu mengintimidasi, memanipulasi
dan mendominasi. Bahkan kemudian bahwa iklan juga mengintervensi dan
memprovokasi. Jadi, begitulah media mempengaruhi hidup konsumen. Menyihir dan
tiba-tiba membuat orang tak berdaya, terjebak dalam sikap konsumtif .
Media Sosial
Media
massa di sini menekankan di dunia media sosial yang sudah menjadi bagian
terbesar dari media massa di era digital jaman sekarang ini. Pada media sosial
represntasi terlihat lebih jelas terutama di dalam dunia periklanan. Dunia
periklanan yang sekarang gencar di lakukan media sosial membuat kita dapat
melihat lebih jelas hasil representasi
ini sendiri.
(CONTOH-CONTOH
GAMBAR)
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny
Gahral, “Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif”,
Jalasutra,
Yogyakarta, 2002.
Asrini, Dwi.,
2013, Gender dalam Konteks Teori Struktural-Fungsional dan Teori Sosial
Konflik,Makalah
Universitas Surakarta.
Barker, Chris,
Tim KUNCI (terj. ) ‖Cultural Studies: “Teori dan Praktek”, Bentang, Yogyakarta,
2002.
Hidayati, Ratna,
2006, ―Jurnalisme Berperspektif Gender‖, disampaikan dalam Short Course
Jurnalisme
Denpasar, 22 April 2006.
Ibrahim, Idi
Subandi dan Hanif Suranto (eds. ), “Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender
dalam Ruang
Publik OrdeBaru”, 305-309, Bandung: Rosdakarya, Bandung, 1998.
Luviana, 2014,
Stereotipe Perempuandalam Media, Jurnal pusat studi media dan komunikasi.
Jurnal On-line:
http://www.remotivi.or.id/amatan/28/Stereotipe-Perempuan-dalamMedia)
diakses tanggal
1 September 2016).
Prabasmoro,
Aquarini Priyatna, “Putih, Femininitas, dan seksualitas Perempuan dalam Iklan
Kita”, Dalam
Jurnal Perempuan, Remaja Melek Media, 53-63, Yayasan Jurnal Peremuan,
Jakarta,
2004Quraisy, Hidayah., 2013, Perempuan dan Iklan Media (Ketidakadilan
Gender dalam
Media), Equilibrium, Jurnal Pendidikan, volume 1, no 1/2013.
Santi, Sarah.,
2012, artikel : Perempuan Dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh Atau Komoditi?,
http:www.esaunggul.ac.id
diakses tanggal 1 September 2016
Suharko, “Budaya
Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media Massa”, Dalam Idi Subandi,
1998.
Wibowo, Wahyu, “Sihir
Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban
Kosmopolit “,
Gramedia, Jakarta, 2003.