Media massa
merupakan sebuah alat yang digunakan sebagai penyebaran informasi ke khalayak
luas. Media massa tumbuh dan berkembang karena adanya kebutuhan informasi
masyarakat yang semakin meningkat. Adanya sebuah kesempatan keuntungan
pendapatan bisnis pada ranah media massa memunculkan adanya sebuah “komerisialisme”
media massa. Dalam hal ini munculah sebuah konglomerasi media massa yang
semakin marak terjadi, sementara konglomerasi media dilakukan oleh seseorang
yang memiliki kuasa pada suatu bidang tertentu dan media sangat mempengaruhi
kedudukannya. Hamad (2004:26) menjelaskan bahwa konglomerasi media merupakan
sebuah bentuk kontruksi realitas dengan perwujudan kontrol media massa oleh
pihak tertentu yang memanfaatkan uang dan kekuasaan dalam pelaksanaan
pemberitaan. Konglomerasi media membuat sempitnya informasi yang disebarluaskan
dan diterima sebenar-benarnya oleh khalayak.
Konglomerasi media massa hakikatnya
lebih banyak menyasar pada media massa televisi, hal ini dibuktikan dengan
beberapa pihak yang berkecimpung didunia politik dan juga merangkap sebagai
pemilik dari sebuah stasiun televisi tertentu. Konglomerasi media mengontrol adanya
informasi-informasi tertentu, adanya keberkaitan pemilik saham ataupun direktur
utama disebuah stasiun televisi lantas membuat pemberitaan “dibatasi”. Hal ini
terjadi karena adanya “pencitraan” yang dilakukan oleh pihak terkait, sebagai
contoh adalah adanya teguran Komisi Penyiaran Indonesia kepada Metro Tv dan TV
One yang dimiliki oleh Surya Paloh dan Aburizal Bakrie karena timpangnya porsi
pemberitaan saat Pilpres 2014 (KPI, 2014). Teguran ini dilayangkan karena KPI
menilai adanya pemberitaan tidak netral yang dilakukan oleh kedua belah pihak
stasiun televisi yang memiliki dua pihak-pihak yang memiliki keterlibatan
politik pada sebuah partai politik.
Kedua belah pihak stasiun televisi
tersebut menyebutkan beberapa hal yang sangat bertentangan antara satu sama
lain dengan fakta yang ada. Hal ini tentu saja berdampak pada opini dan dari
khalayak terkait pilpres. Hal inilah yang kemudian disebut kontruksi realitas,
media massa yang terus berkembang kemudian memunculkan media sosial. Konglomerasi
yang ada pada media massa melupakan sebuah hal penting dari khalayak, yakni
ketertarikan. Adanya kontruksi sebuah realitas jelas mempersempit sebuah
perluasan dan kebenaran dari informasi. Hal tersebut jelas memberikan efek
kejenuhan dari khalayak, hingga media sosial mengisi kejenuhan tersebut dengan
hal-hal yang jelas lebih menarik dan lebih real. Media sosial sangat luas dan
jua “bebas” siapa saja dapat menyebarkan sebuah hal viral dan juga siapa saja
dapat memperoleh pemberitaan mengenai apa saja.
Media sosial lebih minim “dikuasai”
oleh pihak tertentu karena kepemilikan bersifat tunggal dan lebih global. Media
sosial tidak melulu mengenai informasi yang bersifat sempit dan kaku, hal
tersebutlah yang membuat masyarakat menjadi lebih tertarik untuk mengakses
informasi melalui media sosial. Hal lain yang dilupakan oleh para penguasa
media massa adalah, kekritisan dari masyarakat Indonesia yang jauh lebih tajam
akan adanya sebuah pemberitaan. Globalisasi dan juga digitalisasi membuat
khalayak tidak bisa menerima suatu informasi ataupun fakta dari satu sumber. Media
sosial menyediakan fitur “hastag” yang mana dengan adanya fitur tersebut
khalayak dapat mencari sebuah informasi yang sesuai dengan apa yang ingin
diketahui. Televisi agaknya mulai ditinggalkan, sejak kejadian timpangnya hasil
pemilihan pilpres konglomerasi yang ada semakin menjadi bahan perbincangan. Kepercayaan
khalayak mulai menurun dan mengakibatkan adanya peralihan ke media sosial yang
menyediakan informasi secara netral dan berlandaskan dengan fakta yang ada. Hal
ini menjadi menekankan bahwa media sosial menekan dan tidak dipengaruhi adanya
konglomerasi media massa yang ada di Indonesia. Media sosial masih bersifat
bebas dan banyaknya masyarakat yang kritis menyebabkan adanya seleksi informasi
dari khalayak terus dilakukan untuk mendapatkan kebenaran. Konglomerasi media
massa tentunya lambat laun akan kehilangan “penonton” karna mulai adanya
tindakan kritis informasi oleh masyarakat Indonesia.
Referensi:
Hamad, I.
(2004). Kontruksi Realitas Politik dalam
Media Massa. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.
KPI. (2014).
Pemberitaan Tidak Netral, KPI Pusat Tegur Metro Tv dan Tv One. Komisi Penyiaran
Indonesia Website. Diakses pada 10 Juni 2017 https://www.kpi.go.id/index.php/id/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106-pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-tegur-metro-tv-dan-tv-one
Tidak ada komentar:
Posting Komentar