Jumat, 09 Juni 2017

Media sosial dan Konglomerasi Media Massa


Media massa merupakan sebuah alat yang digunakan sebagai penyebaran informasi ke khalayak luas. Media massa tumbuh dan berkembang karena adanya kebutuhan informasi masyarakat yang semakin meningkat. Adanya sebuah kesempatan keuntungan pendapatan bisnis pada ranah media massa memunculkan adanya sebuah “komerisialisme” media massa. Dalam hal ini munculah sebuah konglomerasi media massa yang semakin marak terjadi, sementara konglomerasi media dilakukan oleh seseorang yang memiliki kuasa pada suatu bidang tertentu dan media sangat mempengaruhi kedudukannya. Hamad (2004:26) menjelaskan bahwa konglomerasi media merupakan sebuah bentuk kontruksi realitas dengan perwujudan kontrol media massa oleh pihak tertentu yang memanfaatkan uang dan kekuasaan dalam pelaksanaan pemberitaan. Konglomerasi media membuat sempitnya informasi yang disebarluaskan dan diterima sebenar-benarnya oleh khalayak.
            Konglomerasi media massa hakikatnya lebih banyak menyasar pada media massa televisi, hal ini dibuktikan dengan beberapa pihak yang berkecimpung didunia politik dan juga merangkap sebagai pemilik dari sebuah stasiun televisi tertentu. Konglomerasi media mengontrol adanya informasi-informasi tertentu, adanya keberkaitan pemilik saham ataupun direktur utama disebuah stasiun televisi lantas membuat pemberitaan “dibatasi”. Hal ini terjadi karena adanya “pencitraan” yang dilakukan oleh pihak terkait, sebagai contoh adalah adanya teguran Komisi Penyiaran Indonesia kepada Metro Tv dan TV One yang dimiliki oleh Surya Paloh dan Aburizal Bakrie karena timpangnya porsi pemberitaan saat Pilpres 2014 (KPI, 2014). Teguran ini dilayangkan karena KPI menilai adanya pemberitaan tidak netral yang dilakukan oleh kedua belah pihak stasiun televisi yang memiliki dua pihak-pihak yang memiliki keterlibatan politik pada sebuah partai politik.
            Kedua belah pihak stasiun televisi tersebut menyebutkan beberapa hal yang sangat bertentangan antara satu sama lain dengan fakta yang ada. Hal ini tentu saja berdampak pada opini dan dari khalayak terkait pilpres. Hal inilah yang kemudian disebut kontruksi realitas, media massa yang terus berkembang kemudian memunculkan media sosial. Konglomerasi yang ada pada media massa melupakan sebuah hal penting dari khalayak, yakni ketertarikan. Adanya kontruksi sebuah realitas jelas mempersempit sebuah perluasan dan kebenaran dari informasi. Hal tersebut jelas memberikan efek kejenuhan dari khalayak, hingga media sosial mengisi kejenuhan tersebut dengan hal-hal yang jelas lebih menarik dan lebih real. Media sosial sangat luas dan jua “bebas” siapa saja dapat menyebarkan sebuah hal viral dan juga siapa saja dapat memperoleh pemberitaan mengenai apa saja.
            Media sosial lebih minim “dikuasai” oleh pihak tertentu karena kepemilikan bersifat tunggal dan lebih global. Media sosial tidak melulu mengenai informasi yang bersifat sempit dan kaku, hal tersebutlah yang membuat masyarakat menjadi lebih tertarik untuk mengakses informasi melalui media sosial. Hal lain yang dilupakan oleh para penguasa media massa adalah, kekritisan dari masyarakat Indonesia yang jauh lebih tajam akan adanya sebuah pemberitaan. Globalisasi dan juga digitalisasi membuat khalayak tidak bisa menerima suatu informasi ataupun fakta dari satu sumber. Media sosial menyediakan fitur “hastag” yang mana dengan adanya fitur tersebut khalayak dapat mencari sebuah informasi yang sesuai dengan apa yang ingin diketahui. Televisi agaknya mulai ditinggalkan, sejak kejadian timpangnya hasil pemilihan pilpres konglomerasi yang ada semakin menjadi bahan perbincangan. Kepercayaan khalayak mulai menurun dan mengakibatkan adanya peralihan ke media sosial yang menyediakan informasi secara netral dan berlandaskan dengan fakta yang ada. Hal ini menjadi menekankan bahwa media sosial menekan dan tidak dipengaruhi adanya konglomerasi media massa yang ada di Indonesia. Media sosial masih bersifat bebas dan banyaknya masyarakat yang kritis menyebabkan adanya seleksi informasi dari khalayak terus dilakukan untuk mendapatkan kebenaran. Konglomerasi media massa tentunya lambat laun akan kehilangan “penonton” karna mulai adanya tindakan kritis informasi oleh masyarakat Indonesia.





Referensi:
Hamad, I. (2004). Kontruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.

KPI. (2014). Pemberitaan Tidak Netral, KPI Pusat Tegur Metro Tv dan Tv One. Komisi Penyiaran Indonesia Website. Diakses pada 10 Juni 2017 https://www.kpi.go.id/index.php/id/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106-pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-tegur-metro-tv-dan-tv-one

Tidak ada komentar:

Posting Komentar