Minggu, 11 Juni 2017

REPRESENTASI WANITA DALAM MEDIA SOSIAL


 Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Gender merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan. (Asrini, 2013)
Isu seputar perempuan seperti kesetaraannya dengan laki-laki, terutama dalam sektor publik, memang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Tak kurang dari regulasi tentang perempuan dan pembentukan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengurusi masalah-masalah kaum perempuan . Tapi, kondisi aktual masyarakat saat ini kurang mendukung upaya penyetaraan itu. Masyarakat kita masih menganut ideologi dan nilai-nilai patriarki, yang menganggap posisi laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Bahkan, perempuan masih dianggap sebagian besar orang sebagai subordinat dari sebuah sistem. Melalui keadaan seperti itu maka jelas yang menjadi korban adalah perempuan. Namun, media massa kita belum mengungkapkan bias gender itu.Baik media massa cetak (surat kabar, tabloid dan majalah) dan elektronik (TV dan film) masih menggambarkan sosok perempuan seperti yang diungkapkan Tomagola (1990), yakni berkisar seputar 5-P: pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Pigura menyangkut kecantikan dan pemikat secara biologis, pilar sebagai pengelola rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan kerja (Quraisy, 2013).
Pencitraan perempuan seperti itu dapat dilihat saat media massa memproyeksikan perempuan. Tidak sedikit dalam media iklan, halaman depan tabloid, dan majalah hiburan yang menampilkan wajah dan bentuk tubuh perempuan sebagai daya tarik. Begitu pula dengan sinetron-sinetron dan film masih juga menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, tergantung pada pria, yang hanya di rumah dan peran utamanya hanyalah menyenangkan kaum pria. Selain itu, banyak pula perempuan yang dianggap sebagai simbol seks. Sosok perempuan dalam media massa seperti itu tentu saja menunjukkan stereotipe yang merugikan mereka.

Stereotipe terhadap perempuan
Stereotipe memproyeksikan pola pikir masyarakat pada perempuan. Kalangan feminis pasca-modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan tersebut kemudian dibesarkan oleh industri media. Pendekatan feminis-strukturalis Simone de Beauvoir telah mengilhami Ortner dalam Asrini (2013), dalam menilai bahwa subordinasi perempuan secara universal adalah dampak dan fungsi khas mereka dalam tradisi dan budaya yang melekat di masyarakat. Perempuan dianggap sebagai pengasuh dan orang yang membesarkan anak. Perempuan selalu diidentifikasi pada ranah domestik.
Pada posisi yang berbeda, hieraki gender menempatkan laki-laki sebagai gender yang perkasa, selalu menang, tak pernah menangis, dan hanya bertanggungjawab secara publik, bukan secara domestik. Hal inilah yang membuat orang-orang di luar hierarki menjadi kesulitan untuk diterima dalam nilai-nilai tersebut. Padahal, di luar dua kelompok gender tersebut ada juga kelompok lesbian, gay, biseksual, transeksual (LGBT), yang keberadaannya dipinggirkan (Asrini, 2013).
Konstruksi gender dalam konteks patriarki membuat perempuan sulit untuk mengubah takdirnya. Bukan hanya perempuan, orang-orang yang hidup diluar hierarki gender pun terpinggirkan, kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual,dan transgender), menjadi sulit diterima dan sulit dibahasakan di kalangan masyarakat.
Stereotipe yang melekat pada perempuan dan hierarki gender yang baru ini kemudian menimbulkan sejumlah persoalan baru yang terjadi di masyarakat. Misalnya, perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Stereotipe inilah melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan industri media kita merupakan propagandis terdepan dalam mengkampanyekan stereotipe tersebut.
Pada masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya salesgirl, covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang dalam Hidayati (2006), masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas. Setiap komoditas itu menjadi ―tontonan‖. Dalam masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas - atau tubuh itu sendiri sebagai suatu komoditas tontonan – mempunyai peran yang sangat sentral.
Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih popularitas, mengejar gaya hidup, dan buat mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan seperti itu, kerap media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada media massa.
Bagaimanapun, media massa memiliki manfaat yang cukup penting dalam masyarakat. Tokoh emansipasi kita, RA Kartini yang hari kelahirannya 21 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini pun, mendobrak tradisi yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat kaum wanita lewat bacaan-bacaannya yakni majalah wanita ketika itu. Karena itu, gambaran positif tentang perempuan dalam media massa akan memperbaiki citra mereka.










Peranan Media dalam Menciptakan Stereotipe tentang Perempuan
Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Mengharapkan setara dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu adalah cita-cita dan perjuangan. Ketimbang mempersoalkan terus-menerus mengenai. kesetaraan gender, feminis – maskulin, alangkah lebih baiknya jika perempuan lebih menunjukkan prestasi, karya, kecakapan dan peran dalam masyarakat yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Sehingga, gambaran ideal tentang perempuan pun akan tampil dalam media massa.
Dalam media di Indonesia stereotipe tentang perempuan melekat dalam berbagai tayangan; dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita. Gambaran tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron. Tayangan infotainment memprogandakan pasangan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan perempuan. Jika seorang artis perempuan tidak berpasangan, maka ia akan terus dikejar-kejar pertanyaan pekerja infotainment. Status lajang menjadi status buruk bagi perempuan yang dilekatkan oleh infotainment di televisi kita. Hal lainnya adalah status cantik yang melekat dalam industri media televisi. Siapa saja yang tampil menjadi selebritas di televisi harus selalu cantik. Jika tak cantik, maka seorang perempuan akan mendapatkan ejekan: tak seksi, kurang putih, mukanya kurang menjual, kalah pamor dari perempuan cantik lainnya (Asrini, 2013).
Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di media, namun telah menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televise, stereotipe yang sangat jarang terjadi di ruang redaksi di media cetak maupun radio.Stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan inilah yang akhirnya membuat perempuan membenci tubuhnya. Para perempuan membenci wajahnya yang kurang cantik, kakinya yang kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu gemuk. Akibatnya, perempuan menjadi pemimpi—ingin berubah wujud menjadi tubuh yang diinginkan industri. Karena prasyarat cantik inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan identitas seseorang, yaitu dengan simbol-simbol, signifikasi, representasi dan semua bentuk citra. Kriteria inilah yang sering dilabelkan pada seseorang atau kelompok tertentu.
Tak hanya itu, industri media kemudian memecah-belah perempuan. Ada pengkotakan: perempuan berwajah cantik vs perempuanberwajah pas-pasan,perempuan putih vs perempuan berkulit hitam. Dan ini kemudian dibesarkan oleh mode, fashion dan juara ratu-ratuan sejagat. Media televisi, dalam kultur indutri di Indonesia turut membesarkannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa iklan dalam media mengandung bias gender. Iklan-iklan yang ada mendiskriminasi perempuan melalui citra, visual dan teks-teksnya. Pencitraan yang paling menonjol dan menjadi sumber perdebatan berbagai kalangan adalah citra peraduan, dimana elemen seksualitas perempuan ditonjolkan ketika ia menjadi pembawa pesan.
Dengan mengutip Busby dan Leichty (Suharko dalam Subandi, 1998) bahwa tubuh perempuan digunakan sebagai simbol untuk men-ciptakan citra produk tertentu, atau paling tidak berfungsi sebagai latar dekoratif suatu produk. Tubuh perempuan tampil sebagai simbol kenikmatan minuman, keindahan produk furnitur, keanggunan dan kelincahan produk mobil dan sebagainya. Bagi sebagian orang, penggunaan tubuh perempuan sebagai sebuah simbol merupakan upaya komodifikasi tubuh perempuan, sementara bagi sebagian yang lain, para praktisi periklanan khususnya, hal ini adalah sebuah keharusan karena dibutuhkan untuk memperkuat daya jual sebuah produk.
Piliang dalam Ibrahim (1998) menjelaskan posisi perempuan dan tubuhnya melalui pisau analisa ekonomi politik dalam dunia komoditi. Ia memaparkan bahwa ada tiga sisi yang dapat dilihat dari tubuh perempuan ketika bicara kaitan antara (tubuh) perempuan dan ekonomi politik, yaitu ekonomi politik tubuh (political –economy of body), ekonomi politik tanda (political-economy of signs) dan ekonomi politik hasrat (political-economy of desire). Piliang melihat iklan di media, tubuh dan perempuan dengan pisau analisa ekonomi politik, ia mengkaitkannya dalam konteks kapitalisme. Kalau tadinya logika kapitalisme adalah berpijak pada produksi kebutuhan (needs) sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi serendah mungkin, kini logika itu telah bergeser menjadi menciptakan kebutuhan (needs) melalui penciptaan citra (image) oleh biro-biro iklan. Disinilah media dan perempuan menempati posisinya dalam kapitalisme wajah baru itu (Adian, 2002).
Kapitalisme bentuk baru ini menjadikan semua hal adalah tanda-tanda yang bisa dikomodifikasi, yaitu : proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana benda-benda, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas‖ (Barker, 2005).
Di dalam media, perempuan dan tubuhnya digunakan di dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan konstruksi sosial. Tubuh perempuan yang di potong-potong (menjadi hanya betis, atau kaki, atau dada, atau punggung, atau pinggul, atau rambut, atau bibir) dan diproduksi menjadi tanda-tanda (signs) akan membentuk citra (image), makna (meaning) dan identitas (identity) mereka di dalamnya. Tanda dan citra itulah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai obyek hasrat (desire) untuk memiliki demi mencapai kepuasan.
Prabasmoro (2004) menggambarkan tentang bagaimana potongan tubuh perempuan hanya potongan tanda yang menjadi komoditas: Seksualitas perempuan juga dikomodifikasi. Banyak produk yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh perempuan semata-mata karena tubuh perempuan merupakan nilai jual (selling point ) bagi produk itu.
Penggunaan tubuh dan representasi tubuh dalam media tidak saja menyangkut relasi ekonomi, tetapi juga relasi sosial dan relasi ideologi. Komodifikasi tubuh perempuan menjadi sebuah persoalan ideologi ketika penggunaan tubuhnya dalam iklan sebagai sebuah relasi ekonomi dilandasi dan digambarkan dalam relasi sosialnya pasif, berada dalam posisi subordinasi dan menjadi objek eksploitasi kelompok dominan saja.
Bila perempuan mampu berada dalam posisi subjek yang aktif dan tidak hanya menjadi objek pasif saja, maka bisa jadi bahwa perempuan sebenarnya berkuasa atas dirinya sendiri dan berperan aktif menentukan citra, makna dan identitas dirinya. Menurut Lacan, jika perempuan menggunakan tubuhnya untuk membebaskan hasratnya dan bermain-main (jouissance) maka bisa jadi perempuan otonom berperan aktif membebaskan tubuhnya. Karenanya, bagi para pengkaji cultural studies, persoalannya bukan terletak pada benar tidaknya representasi citra perempuan dalam media tetapi pada sejauhmana perempuan mampu menjadi subjek sebagai penentu konstruksi (Barker, 2002).
Keberadaan perempuan dalam iklan sah-sah saja sepanjang kreatornya tidak menghadirkan bad taste advertising (Subijakto dalam Subandi, 1998). Makna bad taste advertising itu sendiri bisa sangat luas, termasuk jangan melewati batas, dalam arti tidak terjebak pada over-exposure, over-signification dan over-imagination.
Di sinilah kemudian kita harus berhati-hati pada iklan, pada media dan kapitalisme. Madonna sekali pun, yang mampu bermain-main dengan citra dan identitasnya tidak mampu berbuat apa-apa untuk merubah eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial yang lebih hakiki dalam masyarakat kapitalis yang eksploitatif . Di sinilah iklan menjadi hal yang harus diwaspadai. Jean Kilbourne dalam Santi (2012) bahwa iklan memiliki kekuatan pendidikan yang paling berpengaruh karena setiap harinya kita terpapar oleh lebih dari 2000 iklan. Menurutnya, yang dijual oleh iklan lebih dari sekedar produk, tetapi : They sell values, images, and concepts of success and worth, love and sexuality, popularity and normalcy. They tell us who we are and who we should be. Sometimes they sell addictions.
Menurut Wibowo (2003) bahwa iklan makin mirip nenek sihir: datang mendadak dan bergegas menyebar mantra. Orang yang melihat terpesona (dan kebanyakan) terpedaya olehnya tanpa bisa memberontak. Dampaknya, relung-relung kehidupan kita tak lengkap tanpa sentuhan iklan. manusia sekarang bergaul karena iklan media, berpolitik karena iklan dan bahkan rela mati demi iklan. Kata sihir untuk menunjukkan pengaruh iklan dalam kehidupan. Sihir lebih bernuansa magis daripada kata mempesona yang bermakna memukau atau memikat . Dijelaskan lebih lanjut bahwa sihir terwujud dalam 3 bentuk yaitu mengintimidasi, memanipulasi dan mendominasi. Bahkan kemudian bahwa iklan juga mengintervensi dan memprovokasi. Jadi, begitulah media mempengaruhi hidup konsumen. Menyihir dan tiba-tiba membuat orang tak berdaya, terjebak dalam sikap konsumtif .

Media Sosial
Media massa di sini menekankan di dunia media sosial yang sudah menjadi bagian terbesar dari media massa di era digital jaman sekarang ini. Pada media sosial represntasi terlihat lebih jelas terutama di dalam dunia periklanan. Dunia periklanan yang sekarang gencar di lakukan media sosial membuat kita dapat melihat  lebih jelas hasil representasi ini sendiri.
(CONTOH-CONTOH GAMBAR)














DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral, “Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif”,
Jalasutra, Yogyakarta, 2002.

Asrini, Dwi., 2013, Gender dalam Konteks Teori Struktural-Fungsional dan Teori Sosial
Konflik,Makalah Universitas Surakarta.

Barker, Chris, Tim KUNCI (terj. ) ‖Cultural Studies: “Teori dan Praktek”, Bentang, Yogyakarta,
2002.

Hidayati, Ratna, 2006, ―Jurnalisme Berperspektif Gender‖, disampaikan dalam Short Course
Jurnalisme Denpasar, 22 April 2006.

Ibrahim, Idi Subandi dan Hanif Suranto (eds. ), “Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender
dalam Ruang Publik OrdeBaru”, 305-309, Bandung: Rosdakarya, Bandung, 1998.

Luviana, 2014, Stereotipe Perempuandalam Media, Jurnal pusat studi media dan komunikasi.
Jurnal On-line: http://www.remotivi.or.id/amatan/28/Stereotipe-Perempuan-dalamMedia)
diakses tanggal 1 September 2016).

Prabasmoro, Aquarini Priyatna, “Putih, Femininitas, dan seksualitas Perempuan dalam Iklan
Kita”, Dalam Jurnal Perempuan, Remaja Melek Media, 53-63, Yayasan Jurnal Peremuan,
Jakarta, 2004Quraisy, Hidayah., 2013, Perempuan dan Iklan Media (Ketidakadilan
Gender dalam Media), Equilibrium, Jurnal Pendidikan, volume 1, no 1/2013.


Santi, Sarah., 2012, artikel : Perempuan Dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh Atau Komoditi?,
http:www.esaunggul.ac.id diakses tanggal 1 September 2016

Suharko, “Budaya Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media Massa”, Dalam Idi Subandi,
1998.

Wibowo, Wahyu, “Sihir Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban

Kosmopolit “, Gramedia, Jakarta, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar